Rutan Kraksaan Diguncang Dugaan Pelanggaran HAM Pasca Kematian Napi

Probolinggo l bnewsnasional.org - Kematian Suharyono (23), seorang narapidana di Rutan Kelas IIB Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, pada 9/8/25, bukan sekadar berita duka. Ini adalah sebuah cermin buram yang menyorotkan kegagalan sistem dan dugaan pelanggaran hak asasi di balik jeruji besi. 

Suharyono meninggal setelah 15 hari sakit, tetapi keluarganya baru diberi kabar setelah nyawa Suharyono tiada. Keterlambatan ini adalah awal dari serangkaian pertanyaan tajam yang menuntut jawaban.

Baca Juga: Rutan Kelas I Surabaya Gelar Penggeledahan Serentak, Jamin Keamanan dan Ketertiban

Wati, kakak korban, menegaskan bahwa pihak rutan telah mengabaikan prosedur dan etika. "Seharusnya, kami diberitahu sejak adik saya sakit, bukan saat sudah meninggal. Ini jelas menimbulkan tanda tanya besar," ujarnya. 

Pertanyaan Wati bukan tanpa dasar. Mengapa informasi vital tentang kondisi narapidana ditutup-tutupi? Apakah ini merupakan kelalaian semata, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang coba disembunyikan?

Kecurigaan keluarga semakin menguat dengan adanya dugaan penambahan masa tahanan tanpa proses pengadilan yang sah. Suharyono, yang seharusnya bebas pada Maret 2025, justru mendapat tambahan hukuman sembilan bulan. Alasannya: tuduhan membawa empat butir pil ekstasi dan tuduhan yang selalu dibantah oleh Suharyono. 

Wati mempertanyakan, "Kalau memang benar, seharusnya dilakukan tes urine. Selain itu, kalau pil itu dari luar, kan ada pemeriksaan ketat di pintu masuk dan bisa dibuktikan dengan CCTV. Pernyataan ini membuka celah besar yang mengarah pada dugaan rekayasa atau penyalahgunaan kekuasaan.

Baca Juga: HUT ke-17 KAI dan HANI, Rutan Kelas I Surabaya Jadi Saksi Penyuluhan Hukum Gratis dari DPD KAI Jawa Timur

Respons Kepala Rutan Kraksaan, Muhammad Bayu Hendaruseto, semakin menambah luka keluarga. Ia hanya menawarkan penggantian biaya ambulans, bukan santunan. "Untuk santunan dari pihak rutan memang tidak ada, yang kami berikan hanya penggantian biaya ambulans," ungkap Bayu. 

Pernyataan ini bukan saja menunjukkan minimnya empati, tetapi juga mengindikasikan bahwa kematian seorang narapidana dianggap sebagai insiden biasa yang bisa diselesaikan dengan uang transportasi. Sikap seperti ini seolah menegaskan bahwa nyawa di dalam rutan memiliki nilai yang rendah.

Kasus ini membuka kembali perdebatan tentang hak-hak narapidana. Aturan jelas menyatakan bahwa keluarga berhak mendapat informasi dan narapidana berhak atas penanganan medis yang layak. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari ideal. Kematian Suharyono adalah pengingat bahwa sistem pemasyarakatan kita masih memiliki celah besar yang rawan disalahgunakan.

Baca Juga: Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Sampang Kantor Wilayah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Jawa Timur

Tuntutan Keadilan dan Transparansi Keluarga Suharyono menuntut pertanggungjawaban yang jelas, bukan sekadar uang damai untuk biaya ambulans. Mereka ingin kejelasan tentang penyebab kematian dan investigasi mendalam terhadap penambahan hukuman yang janggal.

Publik, melalui kasus ini, menuntut agar Kementerian Hukum dan HAM turun tangan. Investigasi menyeluruh harus dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran prosedur atau hak asasi manusia. Kematian Suharyono harus menjadi momen untuk mereformasi sistem, bukan hanya sekadar catatan tragis yang akan terlupakan.

(Red)

Editor : Redaksi

Berita Terbaru